Sebanyak 278 personel TNI-Polri dikerahkan untuk mengamankan sidang pembacaan replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota pembelaan (pleidoi) terdakwa teroris Aman Abdurrahman. Sidang replik Aman digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/5). Dalam tanggapannya, penuntut umum kembali menyinggung pleidoi atau nota pembelaan Aman yang ia bacakan pekan lalu.
“Terdakwa juga menambahkan, ketika ia dipindahkan ke Mako Brimob, terdakwa adalah satu satunya teroris yang ditakuti di Asia Tenggara,” ujar anggota penuntut umum, Anita, membacakan replik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Seperti dilansir kumparan.com, Saat itu, Aman mengakui, ucapan tersebut dilontarkan oleh profesor asal Srilanka, Rohan Gunaratna, saat mengunjunginya di sel isolasi Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, pada 21 Desember 2017. Rohan, kata Aman, menyebutnya sebagai orang yang paling berbahaya di Asia Tenggara.
Menurut Aman, profesor yang bekerja sama dengan Singapura dan pemerintah itu, menawarkannya untuk bekerja sama dengan pemerintah. Aman juga menyebut, jika ia menerima tawarannya, Aman akan dibebaskan dari hukumannya.
Rohan adalah pakar terorisme yang juga kepada International Centre for Political Violence and Terrorism Research di Rajaratnam School of International Studies pada Nanyang Technological University, Singapura.
Selain menyinggung Asia Tenggara, jaksa Anita juga kembali menyinggung situs milahibrahim.wordpress.com yang dikelola oleh Aman. Kata Anita, pernyataan itu juga diperkuat bahwa situs tersebut merupakan situs Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
“Dan tulisan-tulisan bahasa Arab timur tengah yang diterjemahkan terdakwa,” tutur Anita.
Anita, dalam repliknya, membantah tudingan Aman, yang menyebut dasar penuntutan jaksa, adalah perbuatan zalim. Dia menegaskan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) , menjadi landasannya untuk menuntut petinggi ISIS di Asia Tenggara itu dengan pidana mati.
“Pada saat pelimpahan terdakwa kepada pengadilan. Kami, JPU, telah memiliki cukup alat bukti. Pengakuan terdakwa tidaklah menjadi kata kunci bagi kami dalam membuktikan dakwaan. Bahwa kami memahami terdakwa sebagai subjek hukum. Jikapun terdakwa mengakui perbuatannya, bahwa pengakuan tersebut hanya kepentingan terdakwa untuk pembelaan,” imbuh Anita.[]