SERANG – Sudah puluhan tahun PT PKP berada di Pulau Sangiang ,dinilai tidak menunjukkan progres pembangunan. Padahal, dalam Pasal 7 ayat (3), berbunyi Pemegang Hak Guna Usaha yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Dalam konteks hukum, HGB merupakan hak guna bangunan yang mengharuskan adanya pembangunan fisik di atas tanah yang bersangkutan. Hak ini diberikan kepada pihak tertentu berdasarkan perizinan yang diatur oleh undang-undang untuk kepentingan pembangunan.
Praktisi hukum sekaligu Akademisi Universitas Bina Bangsa (Uniba) Wahyudi mengatakan, HGB dan hak-hak lainnya dalam penguasaan dan pengelolaan tanah mengacu pada UU Pokok Agraria. Salah satunya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.
“Ketika si pemegang HGB tidak melakukan pembangunan sesuai dengan apa yang direncanakan selama dua tahun, sudah layak dicabut itu seharusnya, karena terlantar,” katanya saat ditemui di Universitas Bina Bangsa, Jumat (23/6).
Lanjutnya, ketika PT PKP mengajukan untuk pembuatan resort, lapangan golf, taman dan lain sebagainya. Akan tetapi, pembangunan tersebut tidak ada di Pulau Sangiang berarti HGB tersebut layak untuk dicabut.
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, perpanjangan HGB dapat dilakukan untuk jangka waktu 20 tahun ke depan. Rinciannya adalah 30 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun, sehingga totalnya mencapai 80 tahun.
“Dia (PT PKP) bisa memperpanjang 20 tahun kedepan kalau tidak salah menurut PP No 18 tahun 2021 itu posisinya 30 tahun, 20 tahun, 30 tahun sehingga keseluruhan 80 tahun,” katanya.
Ia juga mengatakan, jika masyarakat Pulau Sangiang menuntut atas terlantarnya jutaan meter persegi tanah yang diduduki PT PKP seharusnya pemerintah dapat mengabulkannya.
“Saya pastikan kalau ada warga yang menggugat, sangat bisa menang. Karena jelas kan, lebih dari 2 tahun tidak digunakan sesuai dengan apa yang menjadi haknya selaku pemegang HGB, maka itu bisa dicabut,” tegasnya.
Wahyudi menduga, pembangunan yang dilakukan PT PKP hanya di dua lahan HGB. Menurutnya, pembangunan tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa PT PKP sudah berusaha melakukan pembangunan saja.
“Namun kan ada beberapa titik yang tidak digunakan sama sekali. HGB itu kan hak untuk mendirikan bangunan, maka harus ada eksistensi bangunannya dulu,” ujarnya.
Ia mengatakan, lahan yang saat ini ditempati PT PKP seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat dalam pengelolaannya atau diserahkan kembali ke pemerintah kabupaten atau provinsi.
“Jika saja dapat dimanfaatkan lahan tersebut untuk masyarakat atau pengelolaannya itu mungkin diserahkan ke kabupaten atau provinsi mungkin lebih bermanfaat,” pungkasnya.[Fik]