More
    BerandaBERITAGizi Gratis, Tapi Anggaran Fantastis: Siapkah Pendidikan Indonesia?

    Gizi Gratis, Tapi Anggaran Fantastis: Siapkah Pendidikan Indonesia?

    Oleh: Silviana Putri (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati)

    Program makan bergizi gratis yang diluncurkan sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045 menjadi sorotan publik. Di satu sisi, gagasan ini terlihat mulia: menyediakan makanan sehat bagi jutaan siswa demi mendukung tumbuh kembang dan kualitas belajar mereka. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran soal kesiapan anggaran, infrastruktur, dan pelaksanaan teknis di lapangan. Wajar jika publik bertanya-tanya seperti benarkah kita siap menjalankan program sebesar ini, atau justru akan menjadi beban baru yang sulit dikendalikan.

    Dalam rencana awal, program ini akan menyasar lebih dari 80 juta siswa dari PAUD hingga SMA sederajat di seluruh Indonesia. Estimasi awal anggaran yang dibutuhkan disebut-sebut mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Angka ini tentu mengundang debat, terlebih di tengah kondisi fiskal negara yang juga harus menanggung berbagai beban lain. Skema pembiayaan dan efisiensi program menjadi sorotan utama. Tanpa perencanaan matang, program ini bisa menjadi anggaran fantastis tanpa hasil sepadan.

    Namun, penting untuk tidak serta merta menolak gagasan ini hanya karena biayanya besar. Kesehatan dan gizi anak adalah investasi jangka panjang yang langsung berkaitan dengan kualitas pendidikan. Anak-anak yang kekurangan gizi cenderung mengalami kesulitan belajar, mudah sakit, dan rendah partisipasi di sekolah. Artinya, gizi gratis bukan sekadar program sosial, tetapi strategi pendidikan dan pembangunan manusia. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa makan sehat di sekolah berdampak pada prestasi dan karakter siswa.

    Meski begitu, pertanyaan krusialnya tetap: bagaimana cara mewujudkan program ini secara efektif dan berkelanjutan? Kita tidak hanya bicara soal menyediakan makanan, tetapi juga memastikan makanan tersebut bergizi, higienis, dan merata di seluruh daerah. Di sinilah tantangan mulai tampak jelas, terutama di daerah terpencil, tertinggal, atau minim fasilitas dapur sekolah. Tanpa kesiapan infrastruktur, logistik, dan SDM, program ini rentan gagal. Belum lagi risiko penyimpangan anggaran jika tidak diawasi secara ketat.

    Pemerintah memang telah menyatakan akan melibatkan berbagai pihak, mulai dari UMKM, petani lokal, hingga koperasi sekolah. Konsep ini di atas kertas tampak menjanjikan, karena bisa memberikan efek ekonomi ganda. Namun realitas di lapangan tidak selalu seindah konsep. Mekanisme pengadaan, distribusi bahan pangan, dan pengawasan kualitas makanan memerlukan sistem yang transparan dan efisien. Jika tidak, justru bisa menimbulkan persoalan baru seperti pungutan, monopoli, atau penurunan kualitas makanan.

    Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperjelas bagaimana posisi program ini dalam skema pendidikan nasional. Apakah makan bergizi akan menjadi bagian dari standar layanan minimal sekolah, lalu bagaimana posisinya terhadap program lain seperti BOS, Kurikulum Merdeka, atau digitalisasi pembelajaran. Jangan sampai program makan gratis justru menyedot anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk peningkatan mutu guru, pengadaan buku, atau perbaikan ruang kelas. Keseimbangan prioritas harus tetap dijaga, dengan adanya program makan bergizi gratis sebagai nilai memperbaiki kesejahteraan anak bangsa, agar menciptakan jiwa yang sehat serta akal yang cerdas.

    Kritik dari sebagian kalangan juga datang dari aspek politis program ini. Ada yang menilai bahwa kebijakan ini terlalu populis dan sarat kepentingan elektoral, terutama karena muncul menjelang dan sesudah pemilu. Meski motifnya bisa diperdebatkan, publik tetap berhak menuntut transparansi dan akuntabilitas. Apapun niat awalnya, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan ini berdampak nyata bagi siswa. Politik boleh menjadi pintu masuk, tapi jangan sampai substansinya tergerus oleh ambisi kekuasaan.

    Kita juga tidak boleh melupakan peran masyarakat dalam mengawal kebijakan ini. Orang tua, guru, dan komite sekolah bisa menjadi barisan pengawas yang efektif jika dilibatkan sejak awal. Partisipasi warga adalah kunci sukses program sosial berskala besar. Terlalu berbahaya jika seluruh pelaksanaan hanya diserahkan ke birokrasi tanpa kontrol. Pengawasan publik akan menentukan apakah anggaran fantastis benar-benar berujung pada manfaat konkret.

    Pada akhirnya, makan bergizi gratis adalah gagasan progresif yang patut diuji lewat kerja nyata. Ia menyentuh titik paling dasar dari pendidikan yang manusiawi yakni memanusiakan anak-anak melalui pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Tapi untuk sukses, program ini harus dilandasi dengan tata kelola yang baik, bukan sekadar semangat baik. Negara tidak boleh setengah hati. Sebab kegagalan kebijakan ini tidak hanya merugikan anggaran, tapi juga mengkhianati harapan jutaan anak Indonesia.

    Gizi gratis pada dasarnya menuntut anggaran fantastis, tetapi bukan berarti mustahil dijalankan. Kuncinya adalah keberanian menyyusun rencana yang matang, bersifat terbuka terkait alokasi dana yang dianggarkan, serta melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan nya. Pendidikan bermutu tentu tidak cukup dengan kemampuan tenaga pendidik dan bahan ajar yang sesuai, melainkan dengan perut yang kenyang dan tubuh yang sehat. Untuk itu bagaimana kah pemerintah untuk dapat mewujudkan program makan bergizi gratis tersebut secara merata, terutama pada daerah terpencil, ketika menginginkan masa depan bangsa lebih baik seharusnya jawaban nya ialah menyanggupi dengan dapat menjamin kualitas pangan bergizi dan ini bukan didasari politik semata, tetapi tujuan nya adalah mensejahterakan siswa.[]

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini

    - Advertisment -

    Most Popular