Setiap daerah di Indonesia punya ciri khas kuliner tersendiri. Seperti halnya di pulau Jawa, beragam masakannya identik dengan rasa manis.
Ternyata, hal tersebut tidak lepas dari sejarah yang terjadi di masa lampau. Demikian menurut JJ Rizal, sejarawan kuliner Indonesia.
Seperti diketahui, Pulau Jawa dulunya merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia. Dia bercerita, peristiwa yang terjadi di masa lampau, saat itu produksi gula (pohon tebu) di Jawa sangat melimpah.
Sedangkan, kondisi pasar sedang tidak stabil bahkan cenderung merosot tajam. Sementara harga rempah pada saat itu sangat mahal. Singkat cerita, lanjut JJ Rizal, jadilah semua masyarakat pada masa itu mencampurkan gula sebagai bumbu utama di setiap masakan.
Ternyata alasannya bukan itu. Dalam seri buku Tempo yang berjudul Antropologi Kuliner Nusantara: Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara, dijelaskan bahwa, rasa manis dalam kuliner Jawa bisa dikaitkan dengan banyaknya suplai gula di Jawa pada masa kolonialisme dulu.
Alasan tersebut juga diperkuat oleh buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto yang terbit pada pada 1986. Menurut kedua buku itu, semua berawal pada tahun 1830, ketika Belanda menjajah Indonesia. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Van der Bosch yang berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia kala itu) memberlakukan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel.
Tanam paksa yang diberlakukan Van der Bosch, bertujuan untuk mengisi kas Belanda yang kosong karena terkuras oleh perang berkepanjangan melawan Pangeran Diponegoro dan pasukannya, atau yang terkenal disebut dengan Perang Jawa (De Java Orloog) yang berlangsung pada 1825-1830.
Perang berkepanjangan itu sangat merugikan Belanda. Tercatat ada 200 ribu orang di Jawa tewas selama peperangan. Sedangkan di pihak Belanda, diperkirakan ada sekitar 8.000 prajurit Eropa terbunuh dan 7.000 prajurit yang direkrut Belanda di Nusantara juga tewas.
Tambah lagi, Belanda harus menanggung kerugian materiil sebanyak 20 juta Gulden. Perlawanan Pangeran Diponegoro dan pasukannya sungguh menguras kas Negeri Ratu Wilhemina saat itu.
Dalam rangka mengganti seluruh kerugian yang dialaminya, Belanda mencari cara dengan melakukan kebijakan tanam paksa di wilayah jajahannya. Dalam kebijakan tanam paksa tersebut, petani diwajibkan menanam tanaman untuk komoditas ekspor yang bernilai jual tinggi di pasaran, seperti tebu, kopi dan teh.
Belanda memaksa petani di Jawa Barat (Sunda) menanam teh. Pada abad ke-19, daerah Priangan dipenuhi perkebunan teh, hingga daerah itu maju dan terkenal dengan produk tehnya. Namun, kompeni Belanda menipu rakyat Priangan. Mereka mengekspor daun teh unggulan yang berkualitas tinggi. Sedangkan pribumi, hanya disisakan gagang tehnya saja, sehingga rakyat Priangan menganggap itulah teh yang sebenarnya.
“Ya, mereka akhirnya tahunya teh seperti itu. Gagang teh dikasih air panas. Ya, sudah itu teh. Teh di sana [Jabar] makanya tawar,” jelas Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dikutip dari Historia.id.
Sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, petani dipaksa menanam tebu, karena orang Belanda menyadari lahan di sana baik untuk ditanami padi dan tebu. Mereka memaksa rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur menanami lahan-lahannya dengan tanaman komoditas ekspor tersebut.
Selama kurang-lebih sembilan tahun cultuurstelsel berlangsung, 70% sawah diubah menjadi perkebunan tebu. Sejalan dengan semakin banyaknya sawah yang dikonversi menjadi perkebunan tebu, didirikan pula ratusan pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, demi memaksimal hasil produksi.
Untuk menggerakkan produksi gula secara besar-besaran itu, ada sekitar sejuta petani tebu dan 60 ribu buruh pabrik yang dipekerjakan oleh Belanda.
Akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh Belanda, rakyat di Jawa mengalami kelaparan. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sebab tidak ada lagi lahan untuk menghasilkan bahan makanan.
Saat kondisi serba sulit, orang Jawa kembali membuktikan ketangguhannya dalam memenuhi kebutuhan pangan. Hal tersebut mengingatkan kita akan kisah terciptanya sayur lodeh.
Ketika perang antara Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung melawan VOC (perusahaan dagang Belanda) di Batavia. Pasukan Mataram kehabisan makanan, namun karena ketangguhan dan kreativitasnya, sisa bahan makanan yang ada dimasak sedemikian rupa sehingga terciptalah sayur lodeh yang konon berasal dari istilah Betawi, “terserah lo deh.”
Kondisi serupa juga terjadi pada masa krisis pangan yang terjadi dari tahun 1830-1870-an itu. Karena hanya tersedia tebu, akhirnya masyarakat Jawa menjadikannya alternatif untuk bertahan hidup. Semua olahan masakannya pun menggunakan air perasan tebu sehingga masyarakat Jawa sangat akrab dengan rasa manis. Alhasil, hingga kini kuliner khas Jawa identik dengan rasa manis yang amat legit. Bahkan, ada yang mengatakan sambal di Jawa pun terasa manis, meski tidak bisa digeneralisasi.[]