Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2018, ratusan anak dari 31 daerah di Indonesia berkumpul dalam “Temu Anak Peduli, Pusparagam Anak Indonesia”, di Surabaya, Sabtu (22/7/2018). Anak-anak dan remaja dari kelompok terpinggirkan ini berkumpul untuk membahas berbagai persoalan terkait dengan anak di Indonesia, serta solusi dan harapan untuk penyelesaian masalah itu.
Berbagai permasalahan yang dialami anak di seluruh Indonesia menjadi bahasan dalam “Temu Anak Peduli, Pusparagam Anak Indonesia.” Salah satu persoalan penting yang dibahas adalah perundungan (bullying), akibat perbedaan yang dimiliki setiap anak. Menurut Reyhan, remaja asal Kabupaten Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, dirinya berharap setiap anak tidak ada lagi yang saling mengejek, menghina atau melakukan perundungan terhadap sesama teman, dan mulai menghargai perbedaan sebagai suatu kekayaan dan potensi untuk membangun bangsa di masa mendatang.
“Tentang bullying terhadap beberapa anak, misalnya perbedaan suku, ras, (warna) kulit, terutama dalam perbedaan gaya bahasanya, yang kadang di setiap daerah itu suka membully anak-anak yang berbeda bahasanya atau logat bicaranya dengan daerah setempatnya,” ujarnya.
Persoalan pekerja anak juga banyak di temui di sejumlah daerah di Indonesia, seperti di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Elmi Septiana, remaja asal Lombok Timur berharap adanya perhatian pemerintah terhadap anak pekerja migran. Anak-anak terpaksa ada yang harus bekerja, karena kedua orang tuanya pergi ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Menurut Elmi, masih banyak daerah yang membutuhkan bantuan untuk kemudahan pendidikan, maupun sarana transportasi yang menunjang semangat anak untuk tetap belajar.
“Untuk anak-anak yang pekerja migran, saya berharap supaya tetap semangat, pantang menyerah, tetap percaya diri, walaupun ayah dan ibunya bekerja di luar negeri untuk menafkahi. Harapan untuk pemerintah sendiri, saya menginginkan pemerintah memberikan akses, contohnya seperti baca buku, terus transportasi sekolah. Di desa saya juga, transportasi sekolah itu tidak ada sama sekali, kita itu di sana tidak ada bus sekolah,” kata Elmi.
Abdi Suryaningati, Tim Leader Program Peduli, yang digagas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan, konflik identitas yang terjadi di masyarakat pasca reformasi, secara tidak langsung menimbulkan dampak terhadap anak-anak. Potensi perpecahan dan dijadikannya anak sebagai korban, harus diatasi bersama-sama dengan meminimalisasi bibit perpecahan, serta memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai pentingnya persatuan Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam suku, agama, budaya dan bahasa.
Abdi mengatakan, “Proses-proses perpecahan karena identitas, identitas bisa keagamaan, bisa kesukuan, dan sebagainya. Sebenarnya kita sudah mulai lihat dari reformasi, demokrasi kita berjalan dengan baik, tetapi juga ada bertumbuhan juga konflik, yang tadinya mungkin hanya laten saja, sekarang sudah mulai mengemuka, dan salah satunya adalah perebutan kekuasaan daerah itu memperkuat konflik-konflik yang sudah ada. Bagaimana pun juga anak-anak kita ini terpapar juga di berbagai daerah dengan potensi-potensi konflik itu.”
Plt. Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Sri Danti Anwar mengatakan, penghargaan terhadap berbagai nilai perbedaan yang dimiliki Indonesia harus diajarkan kepada anak sejak usia dini. Hal ini sebagai dasar agar anak mampu menghargai perbedaan itu, sehingga dapat menjadi agen perdamaian, persatuan, dan kebhinnekaan.
Menurut Sri, “Kita perlu mendorong bagaimana sejak anak-anak itu juga bisa menghargai perbedaan, pruralisme, toleransi, kemudian perdamaian, persatuan, maupun juga anti kekerasan. Jadi kegiatan ini sudah mengajarkan lewat bermain maupun juga kegiatan-kegiatan diskusi dan berbagi peran, itu berusaha untuk menanamkan nilai-nilai itu tadi di dalam kerja-kerja anak kita.”
“Tentang bullying terhadap beberapa anak, misalnya perbedaan suku, ras, (warna) kulit, terutama dalam perbedaan gaya bahasanya, yang kadang di setiap daerah itu suka membully anak-anak yang berbeda bahasanya atau logat bicaranya dengan daerah setempatnya,” ujarnya.
Persoalan pekerja anak juga banyak di temui di sejumlah daerah di Indonesia, seperti di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Elmi Septiana, remaja asal Lombok Timur berharap adanya perhatian pemerintah terhadap anak pekerja migran. Anak-anak terpaksa ada yang harus bekerja, karena kedua orang tuanya pergi ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Menurut Elmi, masih banyak daerah yang membutuhkan bantuan untuk kemudahan pendidikan, maupun sarana transportasi yang menunjang semangat anak untuk tetap belajar.
“Untuk anak-anak yang pekerja migran, saya berharap supaya tetap semangat, pantang menyerah, tetap percaya diri, walaupun ayah dan ibunya bekerja di luar negeri untuk menafkahi. Harapan untuk pemerintah sendiri, saya menginginkan pemerintah memberikan akses, contohnya seperti baca buku, terus transportasi sekolah. Di desa saya juga, transportasi sekolah itu tidak ada sama sekali, kita itu di sana tidak ada bus sekolah,” kata Elmi.
Abdi Suryaningati, Tim Leader Program Peduli, yang digagas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan, konflik identitas yang terjadi di masyarakat pasca reformasi, secara tidak langsung menimbulkan dampak terhadap anak-anak. Potensi perpecahan dan dijadikannya anak sebagai korban, harus diatasi bersama-sama dengan meminimalisasi bibit perpecahan, serta memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai pentingnya persatuan Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam suku, agama, budaya dan bahasa.
Abdi mengatakan, “Proses-proses perpecahan karena identitas, identitas bisa keagamaan, bisa kesukuan, dan sebagainya. Sebenarnya kita sudah mulai lihat dari reformasi, demokrasi kita berjalan dengan baik, tetapi juga ada bertumbuhan juga konflik, yang tadinya mungkin hanya laten saja, sekarang sudah mulai mengemuka, dan salah satunya adalah perebutan kekuasaan daerah itu memperkuat konflik-konflik yang sudah ada. Bagaimana pun juga anak-anak kita ini terpapar juga di berbagai daerah dengan potensi-potensi konflik itu.”
Plt. Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Sri Danti Anwar mengatakan, penghargaan terhadap berbagai nilai perbedaan yang dimiliki Indonesia harus diajarkan kepada anak sejak usia dini. Hal ini sebagai dasar agar anak mampu menghargai perbedaan itu, sehingga dapat menjadi agen perdamaian, persatuan, dan kebhinnekaan.
Menurut Sri, “Kita perlu mendorong bagaimana sejak anak-anak itu juga bisa menghargai perbedaan, pruralisme, toleransi, kemudian perdamaian, persatuan, maupun juga anti kekerasan. Jadi kegiatan ini sudah mengajarkan lewat bermain maupun juga kegiatan-kegiatan diskusi dan berbagi peran, itu berusaha untuk menanamkan nilai-nilai itu tadi di dalam kerja-kerja anak kita.”
Sumber: https://www.voaindonesia.com