Cara Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menangani Papua saat jadi presiden ke-4 RI kerap dipuji banyak pihak bahkan warga Papua sendiri. Pada masanya, tak ada gejolak berarti di bumi cenderawasih.
Tokoh Papua Filep Karma terang-terangan Gus Dur adalah Presiden paling baik.
“Waktu Gus Dur tidak terdengar orang Papua ditembak,” kata Filep saat berkunjung ke kantor redaksi CNNIndonesia.com, Jumat, 15 Februari 2019.
Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriani juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk belajar pada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menjembatani persoalan di Papua, termasuk terkait bendera berlambang Bintang Kejora.
Gus Dur terpilih sebagai presiden RI lewat sidang umum MPR pada 20 Oktober 1999 lalu. Namun, kepemimpinan Gus Dur harus berakhir lebih cepat setelah dimakzulkan lewat Sidang Istimewa MPR pada Juli 2001. Setelah itu posisinya digantikan Megawati Soekarnoputri yang semula menjabat Wakil Presiden RI.
Dalam kepemimpinan yang singkat itu, Gus Dur meninggalkan bekas mendalam bagi orang Papua. Dua bulan selepas dilantik atau tepatnya 30 Desember 1999 Gus Dur berkunjung ke Papua, ketika itu disebut Irian Jaya.
Mantan Ketua Umum PBNU itu turut didampingi putrinya Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid.
Yenny menceritakan kunjungan Gus Dur ke Papua ketika itu sempat mendapat penolakan dari masyarakat Papua.
Bahkan, kata Yenny, dalam sebuah forum dialog ketika itu, rakyat Papua menyampaikan pernyataan dengan keras dan beberapa orang tetap mewacanakan untuk merdeka
“Gus Dur tetap sabar mendengarkan, akhirnya mereka luluh hatinya,” kata Yenny seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (22/8).
Yenny menyatakan ayahnya berani membuka ruang dialog yang semula tertutup, termasuk dengan pimpinan gerakan Papua Merdeka. Menurutnya, Gus Dur memprioritaskan untuk membangun rasa saling percaya dengan rakyat Papua.
“Itu hanya bisa tercapai apabila ada ruang dialog yang dibuka, agar mereka bisa menyampaikan keresahannya selama ini,” ujarnya.
Keberanian Gus Dur membuka ruang dialog juga diakui oleh tokoh Papua Merdeka, Filep Karma. Filep punya kesan cukup mendalam, terutama ketika Tentara Papua Merdeka (TPM) di era Gus Dur, bisa leluasa masuk kota dan berunding dengan militer.
“Kayak waktu itu TPM bisa masuk ke kota berunding dengan militer. Wow, saya juga terkaget-kaget mendengarnya. Artinya TPM ini yang selalu enggak bisa masuk ke kota, bisa didatangkan di kota,” ucap Filep dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Konsistensi Gus Dur dalam menempuh jalan dialog direkam oleh NU Online. Dalam publikasi 12 Desember 2018, media resmi milik PBNU itu menyebut acara dialog antara Gus Dur dan masyarakat Papua di pengujung Desember 1999 didatangi oleh banyak orang.
Antusiasme masyarakat itu disebut karena tidak ada penjagaan ketat dari aparat.
‘Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam dialog dengan berbagai elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat,’ demikian dikutip dari artikel NU Online berjudul Alasan Gus Dur Ubah Nama Irian Jaya Menjadi Papua.
Dalam dialog itu Gus Dur disebut mempersilakan mereka yang hadir untuk berbicara lebih dulu. Ada beragam pendapat, dari keras menuntut kemerdekaan sampai yang memuji pemerintah.
Setelah semua pendapat diungkapkan baru Gus Dur merespons. Dalam salah satu responsnya Gus Dur bahkan mengubah nama Irian Jaya jadi Papua.
“Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Alasannya? Pertama, nama Irian itu jelek. Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang (Urryan). Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian,” ujar Gus Dur kala itu.
Gus Dur lalu melanjutkan, “Kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.” ujar Gus Dur menambahkan.
Yenny mengatakan perubahan nama Irian jadi Papua menjadi salah satu cara Gus Dur mengembalikan harkat martabat masyarakat Papua sebagai sesama warga bangsa Indonesia.
“Itu langkah besar, karena sebelumnya sekadar menyebut kata Papua saja bisa mengakibatkan orang masuk penjara,” tuturnya.
Selanjutnya, kata Yenny, Gus Dur juga memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai identitas bendera kultural Papua. Gus Dur juga membantu membiayai penyelenggaraan kongres rakyat Papua.
Yenny menyatakan bahwa cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari itu melarang pendekatan represif dan lebih mengedepankan pendekatan humanis kepada masyarakat Papua. Sementara Filep menyatakan selama kepemimpinan Gus Dur, tak satu pun terdengar kabar orang Papua ditembak.
“Beliau juga presiden pertama yang mengangkat menteri dari Papua, yaitu Manuel Kaisiepo, serta memberikan perhatian khusus bagi kawasan Indonesia Timur,” kata Yenny.
Teruskan Kebijakan di Papua
Mantan Direktur Wahid Institute itu menyebut gerakan Papua Merdeka saat ini sudah tak besar. Namun, Yenny menyebut bahwa masih ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua harus diakui sebagai proses integrasi yang belum selesai.
Kondisi tersebut, kata Yenny, telah coba diatasi pemerintahan Jokowi dengan cara memberikan perhatian besar bagi masyarakat Papua.
“Berbagai kebijakan afirmatif diluncurkan pemerintah untuk memastikan masyarakat Papua juga bisa merasakan kue pembangunan,” ujarnya.
Yenny mengatakan bahwa pemerintah telah memperbaiki sejumlah fasilitas dasar, mulai dari jalan, pos kesehatan, sekolah, pasar, sarana listrik di daerah terpencil, hingga penerapan kebijakan satu harga untuk BBM dan semen.
“Ini semua harus diteruskan sambil kita mencoba mengobati luka batin masyarakat Papua yang tersinggung karena istilah rasis yang digunakan oleh oknum dalam insiden di Surabaya beberapa hari lalu,” katanya.
Yenny mendorong kepolisian mengusut dugaan rasial yang dilakukan oleh kelompok masyarakat maupun aparat kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Dugaan aksi rasial ini yang menjadi salah satu faktor gelombang demonstrasi terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat.
“Jadi dugaan pelanggaran kekerasan secara verbal dan intimidasi harus diusut, lalu dugaan pelanggaran perusakan simbol negara juga harus diusut,” ujarnya.[]