*Sebuah catatan perjalanan H. Embay Mulya Syarief
Mission Possible ke Bosnia dan Vatikan Roma Italia
Bersyukur sekali, selaku anak desa saya mendapat kesempatan menjadi bagian penting dari perjalanan diplomatik ke Sarajevo-Bosnia dan Vatikan-Roma, Italia. Sebuah perjalanan diplomatik yang ditujukan untuk penguatan nilai-nilai universal kemanusiaan dan keagamaan dalam pergaulan lintas negara dan bangsa.
Dalam sambutan pengantarnya, Jum’at 12 Juli 2019, Achmad Kartiko selaku Kabid Kerma Baintelkam Mabes Polri menuturkan bahwa perjalanan diplomatik ini dimaksudkan untuk menggali informasi, data dan fakta otentik tentang bagaimana bangunan relasi kuasa antar komunitas dalam sebuah bangsa yang beragam suku dan agama. “Tentu maksud dan tujuan ini tidak jauh berbeda dengan perjalanan diplomatik sebelumnya seperti ke Xinjiang-China dan Syuriah,” tegas Kartiko.
Menguatkan apa yang disampaikan Kabid Kerma, Kepala Baintelkam Mabes Polri Komjend. Polisi Drs.Agung Budi Maryoto,M.Si. menegaskan bahwa dengan menggunakan sentimen agama dan suku, sekarang ini Indonesia sedang digoyang terus untuk dipecah-belah oleh kekuatan yang anti Pancasila dan NKRI. Untuk itu, disamping mendalami dan mengambil pelajaran apa yang telah dan sedang terjadi di Sarajevo-Bosnia danVatikan-Roma Italia , tugas peserta adalah menunjukkan kepada dunia bahwa meski terdiri dari ribuan suku dan etnis, bahasa, agama dan kepentingan politik, bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta kemanusiaan dan kedamaian.
Disinilah arti penting perjalanan diplomatik-kemanusiaan ini, yaitu mendialogkan dengan damai segenap keberbedaan ras, agama dan suku inter dan antar negara sebagai bagian ekspresi dari cinta tanah airnya.
Mengapa Bosnia-Herzegovina?
1). Di era Federasi Yugoslavia, Bosnia-Herzegovina pernah mengalami perang saudara yang berkepanjangan yang disebabkan oleh konflik etnik dan agama. Mengapa perang saudara itu terjadi dengan meluluhlantahkan nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan dan kebangsaanya? Bagaimana perdamaian sejati itu dapat diwujudkan disana dan Strategi bertahan seperti apa yang digunakan agar konflik berdarah itu tidak terulang kembali? adalah pertanyaan-pertanyaan faktual yang penting untuk digali untuk didalami dan kemudian diambil pelajaran bagi setiap anak bangsa di Indonesia.
2) Bosnia merupakan salah satu negara multi-agama di semenanjung Balkan karena tak ada agama yang membentuk mayoritas mutlak. Bosnia juga dikenal sebagai tempat dimana “Timur beryemu Barat”, disinilah tempat dimana Kekaisaran Romawi Kuno pecah menjadi Kekaisaran Romawi Barat yang menganut Kristen-Katholik dan Kekasairan Romawi Timur (atau Bizantin) yang memeluk Kristen-Ortodoks.
Perbedaan kepercayaan ini semakin menarik setelah kedatangan bangsa Turki-Utsmani pada abad ke 15 yang membawa Islam. Ibu Kota Bosnia sendiri, Sarajevo, dikenal sebagai “Yerusalem Eropa” karena sampai abad 20 merupakan satu-satunya tempat di Eropa dimana terdapat Gereja, Masjid dan Sinagoge yang berdiri berdampingan.
3) Identifikasi keagamaan di Bosnia dan Herzegovina menjadi sangat penting karena masih hangatnya keadaan politik antar suku. Sejak kemerdekaan Balkan dari Kesultanan Ustmaniyah, tiap suku sangat erat dihubungkan dengan agama. Pada zaman Federasi Yugoslavia, seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari bangsa Bosnia otomatis akan didaftarkan sebagai “muslim” termasuk kepada mereka yang tidak memeluk agama Islam. Dalam era Federasi Yugoslavia ini, tiap suku diidentifikasikan sebagai berikut: 1) Bangsa Serbia, Montenegro, dan Makedonia, menganut Kristen Ortodoks; 2) Bangsa Kroasia dan Slovenia, menganut Kristen-Katholik; 3) sedangkan Bangsa Bosnia dan Albania, diidentifikasi menganut Islam.
Mengapa Vatikan-Roma?
1). Di kota suci Vatikan, barangkali kita akan dapat belajar dan mendalami lebih jauh bagaimana relasi kuasa antar agama dan negara dijalin secara harmonis dan produktif tanpa ada upaya sedikitpun untuk saling menegasikan satu dengan yang lain? Hal ini mengingat Kota Suci Vatikan merupakan sebuah negara terkecil di dunia yang berbentuk eklesiastik dan diperintah oleh uskup Roma yaitu Paus.
2). Dalam sejarahnya, Vatikan adalah wilayah tak berpenghuni yang dianggap suci bahkan sebelum kedatangan Agama Kristen. Pada tahun 326 M, gereja pertama dibangun diatas makam Santo Petrus dan sejak saat itu Vatikan mulai dihuni oleh banyak orang. Dalam menjalankan peran sekulernya, para Paus memperluas pengaruhnya hingga mampu menguasai semenanjung italia.
3). Pada abad 18, saat seluruh Italia disatukan oleh Kerajaan Italia, wilayah kekuasaan Paus kemudian disita dan dimasukkan dalam bagian kerajaan Italia. Saat Roma dianeksasi rahun 1870, wilayah kekuasaan Paus dikurangi hingga memicu perseteruan antara Gereja dan Kerajaan Italia.
4). Pada 11 peb 1929, Perjanjian Lateran (Corcondat) ditandatangani oleh Kardinal Gaspari mewakili Pius XI dan Bennito Mussolini mewakili Raja Victor Emmanuel III berisi 3 poin utama: (1) Diakuinya negara Vatikan berdaulat dan merdeka dibawah pemerintahan Tahta Suci; (2) Agama Katholik memiliki Status Istimewa di Italia; (3) Vatikan dapat ganti rugi sebagai akibat berdirinya kerajaan Italia. Perjanjian ini terus berlaku walaupun saat PD II sistem pemerintahan Italia berubah menjadi republik.
5).Sejak Konvensi Montevideo 1933, Vatican City State dinyatakan telah memenuhi syarat berdirinya sebuah negara yang berdaulat. Sebagai negara yang berdaulat, Vatikan telah mendapatkan pengakuan lebih dari 183 negara termasuk Indonesia.
6) Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan dimulai sejak 1947 yang ditandai dengan penunjukkan Archbishop Giorgio de Jonghe d’Ardoye oleh Paus Pius XII menjadi Papal Representative to the Indonesian Archipelago. Vatikan bahkan disebut sebagai salah satu negara Eropa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia.
7). Dalam konteks hubungan kerja sama antar negara (G to G), Vatikan lebih memposisikan diri sebagai institusi Gereja. Setiap misi dan kepentingan yang diperjuangkan oleh Vatikan, baik dalam tataran bilateral maupun multilateral, selalu berlandaskan ajaran Gereja Katolik dan posisi Vatikan cenderung lebih obyektif. Dalam kebijajan luar negerinya, Vatikan selalu menempatkan isu-isu sosial dan kemanusiaan.
Dari kedua negara diharapkan kita dapat mengambil pelajaran berharga dalam menguatkan rasa nasionalisme kita di era dimana batas terotori antar negara seolah tidak lagi bermakna.[]
Jakarta, 12 Juli 2019
Direktur Eksekutif ICDHRE
Sean Choir