Serang, 17 Januari 2025 – Putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Serang terhadap terdakwa MS (46) dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak kandungnya menuai gelombang keprihatinan dari berbagai pihak. Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten menilai keputusan ini sebagai pukulan bagi perjuangan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan berpotensi menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan kejahatan terhadap anak.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten Hendry Gunawan mengatakan, putusan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan korban, tetapi juga memberikan sinyal berbahaya bagi penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual.
“Pembebasan MS berpotensi membuka celah bagi pelaku lain untuk menghindari hukuman dengan strategi yang sama, seperti pencabutan laporan atau penyelesaian di luar pengadilan,” katanya.
Alasan yang Dipertanyakan
Dalam persidangan, salah satu pertimbangan hakim dalam membebaskan terdakwa adalah dugaan bahwa korban melaporkan kejadian tersebut karena rasa cemburu terhadap ibu tirinya. Komnas Perlindungan Anak menilai alasan ini tidak masuk akal, mengingat korban harus menghadapi risiko besar saat melaporkan peristiwa tersebut. Fakta bahwa korban berani mengungkapkan kejadian ini kepada pamannya, yang kemudian mendampinginya dalam proses hukum, menunjukkan adanya dasar kuat dalam pengaduan tersebut.
Selain itu, organisasi ini menyoroti bahwa perdamaian antara korban dan pelaku tidak dapat dijadikan dasar pembenaran hukum. Dengan adanya relasi kuasa antara ayah dan anak, besar kemungkinan bahwa perdamaian tersebut terjadi karena tekanan, bukan karena kehendak bebas korban. Komnas menekankan bahwa Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan jelas menyatakan bahwa kasus semacam ini tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.
Visum dan Bukti Lain Perlu Didalami
Keputusan pengadilan juga mempertimbangkan hasil visum et repertum yang menyatakan bahwa luka yang ditemukan bukan akibat perbuatan terdakwa. Namun, Komnas Perlindungan Anak mempertanyakan apakah pemeriksaan tersebut telah dilakukan dengan standar kredibel dan bebas dari pengaruh luar. Mereka juga menekankan pentingnya visum et psikiatrikum untuk menggambarkan kondisi psikologis korban dan memperkuat pembuktian di pengadilan.
Seruan untuk Kasasi
Komnas Perlindungan Anak mendesak aparat penegak hukum untuk mengajukan kasasi atas putusan ini. Mereka menegaskan bahwa kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa yang seharusnya dihukum seberat-beratnya, terlebih jika pelakunya adalah ayah kandung korban. Undang-undang mengatur hukuman maksimal 15 tahun penjara, yang bahkan bisa ditambah sepertiga jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban. Oleh karena itu, pembebasan MS dinilai mencoreng upaya perlindungan anak yang telah diperjuangkan selama ini.
Masyarakat pun diajak untuk lebih aktif dalam memberikan dukungan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Kasus ini diharapkan menjadi pengingat bahwa keadilan bagi anak-anak harus terus diperjuangkan demi masa depan yang lebih aman dan berkeadilan bagi generasi mendatang.[]