Bayangkan: beberapa bulan usai pasangan asal Palestina melangsungkan pesta pernikahan, sang suami ditangkap oleh aparat keamanan Israel. Ia dinyatakan bersalah atas tindakan subversif kepada pemerintahan Israel, dibawa ke meja hijau, dan divonis hingga 20 tahun penjara.
Harapan sang istri untuk memiliki keturunan tiba-tiba sirna. Tapi sang suami, yang kini menjadi napi, mendengar sebuah ide alternatif dari kawan yang senasib-sepenanggungan: menyelundupkan sperma.
Kisah di atas bukan fiksi belaka. Praktik penyelundupan sperma memang dilakukan oleh sejumlah tahanan Palestina di Israel agar sang istri bisa menjalankan prosedur bayi tabung, atau yang diistilahkan dengan In Vitro Fertilisation (IVF).
Linah Alsaafin dari Middle East Eye (MEE). melaporkan ide awal dari aktivitas tersebut datang dari seorang insinyur peralatan medis asal Palestina yang dipenjara pada awal 2000-an. Ia dan istrinya tak bisa tak bisa memiliki anak dengan cara alami dan sedang dalam program bayi tabung dengan modal sperma yang dibekukan.
Ia kemudian dipenjara, sementara istrinya menjalani operasi hingga benar-benar dinyatakan hamil. Si napi menceritakan kesuksesan program bayi tabungnya ke kawan-kawan Palestina lain. Beberapa yang belum sempat menghamili istrinya atau ingin punya anak lagi kemudian menginisiasi penyelundupan sperma itu.
Napi Palestina diperbolehkan untuk dikunjungi setiap dua minggu sekali. Durasinya 45 menit, tanpa kontak langsung, dan komunikasi dilakukan via telepon sambil tatap muka. Pengunjung harus berstatus sebagai anggota keluarga inti, serta tentu saja mendapat pemeriksaan ketat saat sebelum masuk dan keluar penjara.
Celah yang dimanfaatkan para napi adalah saat diizinkan untuk memeluk anak selama 10 menit di akhir kunjungan. Di momentum inilah mereka bisa menyelundupkan sperma yang diwadahi seadanya: bungkus keripik, bungkus manisan, atau botol obat tetes mata, ke kantong si anak.
Kegiatan selundup-menyelundupkan bukan hal yang asing bagi warga Palestina. Melalui aktivitas itu pula roda ekonomi hingga perjuangan melawan Israel bisa tetap dijalankan. Di dalam penjara, misalnya, mereka biasa menyelundupkan surat ke luar lewat dengan cara dibungkus plastik dan ditelan oleh napi yang bebas.
Dalam kasus sperma, keluarga punya waktu kurang dari 48 jam sebelum kualitasnya memburuk (perhitungan rata-rata sperma normal). Sesampainya di klinik, sperma diamankan di tempat khusus dan akan dikeluarkan jelang pelaksanaan operasi bayi tabung.
Tidak seluruhnya berakhir dengan kehamilan, tapi usaha tersebut lebih baik daripada keluar penjara saat usia istri sudah terlalu tua untuk hamil. Maklum, banyak dari narapidana asal Palestina yang dipenjara hingga lebih dari 20 tahun.
Kisah keberhasilan pertama dari penyelundupan ini dilaporkan Rania Zabaneh untuk Al-Jazeera pada lima tahun silam. Sang bayi bernama Muhanned. Ia lahir pada Agustus 2012 dari rahim ibunya, Dallal, yang dibuahi oleh sperma selundupan ayahnya, Ammar al-Ziben.
Pada 1998 Ammar dinyatakan bersalah atas tuduhan salah satu perencana teror bom di Yerusalem yang terjadi setahun sebelumnya. Ia divonis penjara selama 25 tahun, tapi berhasil mengelabuhi sipir penjara Hadarim. Hasilnya adalah bayi Palestina pertama hasil dari sperma selundupan.
“Masa (tahanan) itu adalah tahun-tahun yang berat, hingga Muhannad akhirnya lahir. Muhanned mengembalikan kehidupan di rumah kami,” kata Dallal.
Kelahiran Muhanned menginspirasi upaya-upaya penyelundupan dari napi lain. Para dokter di Pusat Kesehatan Razan, Nablus, Tepi Barat, mengatakan bahwa mereka menerima satu atau dua sampel sperma selundupan tiap minggunya. Puluhan sperma beku itu disimpan di dalam suhu minus 196 derajat Celcius.
Tingkat kesuksesan hingga si istri hamil rata-rata satu dari tiga percobaan. Kegagalan yang terjadi kebanyakan dilatarbelakangi oleh keterlambatan sperma sampai ke klinik. Dokter di klinik tersebut tidak tahu—dan tak mau tahu—soal bagaimana detail penyelundupannya.
Teknologi yang berkembang pesat membuat pasangan bahkan bisa memilih jenis kelamin bayinya. Mayoritas memilih laki-laki. Metodenya bernama bayi tabung PGD (Preimpantation Genetic Diagnosis). Biayanya pada lima tahun lalu mencapai Rp44 juta, tapi klinik tersebut menggratiskannya untuk istri para tahanan.
Disambut Warga
Pada mulanya program bayi tabung dihadapkan pada sikap konservatif yang menghinggapi sebagian masyarakat. Mereka masih meragukan boleh-tidaknya dari segi hukum Islam. Saat Dalal datang ke klinik, ia disarankan agar berkonsultasi dulu dengan keluarga besar beserta orang-orang di tempat tinggalnya.
“Kau tak mau melihat perempuan hamil sedangkan kau tahu suaminya sedang dipenjara dalam waktu yang lama,” kata Salem Abu Khaizaran, dokter yang menangani Dalal di Pusat Kesehatan Razan.
Tak disangka-sangka, keluarga dan orang di desa Dalal menyetujui program bayi tabung. Bahkan banyak yang secara terang-terangan mendukung usaha Dalal.
Dukungan ini menggambarkan evolusi motif dalam praktik penyelundupan sperma oleh para napi Palestina. Tujuannya bukan lagi untuk membahagiakan para istri yang ditinggal suaminya, tapi untuk menjaga harapan akan perjuangan melawan rezim Israel.
Pada akhirnya visi tersebut mampu mendobrak kontroversi terkait halal-haram program bayi tabung. Selain dukungan dari masyarakat Palestina, mengutip laporan Ylenia Gostoli untuk Vice, pada 2013 Dewan mengeluarkan fatwa yang membolehkan praktik IVF sebagai teknik reproduksi alternatif.
Salah satu narasumber Alsaafin untuk laporan MEE adalah Mohammed Qabalan, direktur media Pusat Kesehatan Razan. Qabalan mengatakan penyelundupan sperma oleh para napi didorong oleh dukungan tokoh besar Palestina seperti Presiden Yasser Arafat atau pemimpin Hamas Abdul Aziz al-Rantisi.
Pesan Arafat dan al-Rantisi bermuara pada penegasan bahwa narapidana Palestina di penjara Israel tetap punya hak untuk memiliki anak. Para tahanan pun mengelaborasi segala upaya untuk merealisasikannya—meski harus kucing-kucingan dengan sipir penjara.
Tanggal 17 April selalu diperingati sebagai Hari Narapidana oleh warga Palestina sebagai bentuk solidaritas. Kembali mengutip Al-Jazeera, 400-an di antaranya ditahan tanpa dakwaan yang jelas atau tanpa melalui pengadilan resmi. Israel menyebutnya sebagai “penahanan administratif”.
Total warga Palestina yang ditahan Israel berjumlah lebih dari 800.000 orang sejak pendudukan militer di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada 1967. Hingga kini banyak di antara mereka yang tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai, dan otomatis memicu gangguan fisik dan psikologis yang kronis.
Total ada lebih dari 30 bayi yang telah lahir dari hasil penyelundupan bayi sejak 2012. Puncak aktivitas ini terjadi pada tahun 2015. Sejak itu otoritas keamanan Israel mengetatkan syarat serta aturan bagi warga Palestina yang ingin mengunjungi sanak saudara yang sedang mendekam di balik jeruji penjara, dilansir dari tirto.id.