Feminisme (berasal dari kata feminin dalam bahasa Prancis) adalah sebuah kata sifat yang berarti “kewanitaan” atau untuk menunjukkan sifat perempuan. Feminisme merupakan aliran pergerakan wanita yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Feminisme juga sering disebut dengan serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan memperjuangkan hak-hak wanita dengan menetapkan kesetaraan pada aspek politik, ekonomi, pribadi, dan sosial dari dua jenis kelamin. Feminis berupaya melindungi wanita dari tindak kekerasan integrasi sosial, untuk melindungi perempuan dari pemerkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
Gerakan feminisme dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Latar belakang utama feminisme adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriaki, dan adanya kesenjangan yang jelas antara hak-hak dan status sosial antara laki-laki dan perempuan.
Isu feminisme di dunia muslim
Gerakan feminisme yang mengiringi isu sentral kesetaraan gender di dunia Muslim akhir- akhir ini jadi isu pertumbuhan zaman serta terus memunculkan polemik, spesialnya di Indonesia. Perihal ini nampak dari isu kesetaraan gender yang terus bermunculan dengan anggapan yang berbeda tentang banyaknya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Feminis berkomentar bahwa indikator ketidakadilan bisa diamati dalam bermacam wujud aksi diskriminatif Yang dirasakan perempuan, serta penanda tersebut digunakan selaku senjata buat tingkatkan pemahaman.
Feminisme dalam Islam
Islam lebih awal memberikan kebebasan kepada kaum perempuan. Misalnya, seperti aktivitas politik dan dakwah, kesempatan bekerja, ikut serta dalam pendidikan, hak waris. Terkait seorang wanita harus di rumah saja Islam bahkan telah menolak pernyataan itu. Sebagai bukti yaitu istri Rasulullah SAW. Khadijah binti Khuwailid Ra. Saudagar kaya di Jazirah Arab, yang bahkan Nabi pun bekerja kepada Khadijah. Bahkan tokoh pendidikan saat itu tak terhitung jumlahnya. Beberapa dicatat oleh Abu Hayyan terdapat tiga perempuan yang kemudian menjadi guru Imam Syafi’i antara lain Mu’annisat al-Ayyubiyah (saudara Shalahuddin al-Ayyubi), Syamiyat Attamiyah dan Zainab yang merupakan puteri dari Abdul Lathif al-Baghdady.
Al-quran dan Hadits sebagai landasan berpikir dan bertindak dalam agama Islam justru melegitimasi eksistensi keberadaan wanita. Wanita diberikan porsi hak, kewajiban serta hukum yang sama dengan laki-laki. Di salah satu ayat Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab: 35.
إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Ayat ini mengandung banyak penafsiran salah satunya, Allah menyampaikan pesan bahwa “ganjaran kebaikan yang diterima wanita sama persis dengan ganjaran yang laki-laki terima dalam mengamalkan kebaikan”.
Kemudian diperjelas dalam hadits nabi, beliau bersabda :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ“
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang menunjukkan kepada orang lain suatu kebaikan atau suatu jalan hidayah, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya. Tidak ada penjelasan bahwa hanya laki-laki yang mendapatkan pahala, begitu juga sebaliknya.
Islam memberikan ruang lingkungan dan sosial yang layak bagi perempuan. Islam juga memberikan ruang gerak wanita untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Sudah menjadi maklum; bahwa Aisyah-istri nabi Muhammad yang paling muda merupakan salah seorang perawi hadits yang terkenal. Ia mendapatkan ruang publik untuk bebas bergerak dalam bidang pendidikan. Bahkan, ia juga pernah berpartisipasi dalam bidang peperangan sebagai satu dari tiga orang komandan perang di awal kepemimpin khalifah Ali bin Abi Thalib.
Apa yang dilakukan oleh Khadijah dan Aisyah yang notebene keduanya disebut-sebut sebagai ummahatul mu’minin (ibu dari orang-orang yang beriman) adalah sebuah bukti bahwa Islam mengakui dan meghormati eksistensi serta peran wanita dalam berbagai segmentasi kehidupan. Entah itu ruang privasi maupun ruang publik. Tak heran bila dapat dipahami bahwa Islam masih selaras dengan feminisme dalam koridor tersebut. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13.
يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong, karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
Tapi apakah itu berarti Islam juga menerima gagasan persamaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan secara mutlak?
Allah sudah menetapkan wanita dengan kodratinya sebagai wanita. Fisik dan psikologinya jelas berbeda dengan laki-laki, Ia mengalami fase melahirkan dan menyusui yang tidak mungkin dialami oleh laki-laki. Kedua fase tersebut dan ditambah dengan berbagai faktor lain membuat mereka mendapatkan porsi hukum yang berbeda dengan laki-laki. Di dalam masalah ibadah, jelas sekali mereka mendapatkan dispensasi taklif untuk tidak menjalankan ibadah semisal shalat dan puasa saat mereka mengalami masa menstruasi.
Kemudian, ketetapan-ketetapan lain dalam hukum Islam yang kerap dituntut oleh para feminis sebenarnya mengandung hikmah yang mendalam dalam hukum tersebut. Dalam pembagian harta warisan misalkan, feminisme memandang ajaran agama Islam sebagai ajaran yang tidak adil, Seorang laki-laki yang mendapatkan bagian dua kali lipat dari wanita adalah sebuah ketidaksetaraan yang harus diubah begitu saja.
Padahal jikalau dikaji lebih mendalam, terdapat hikmah yang sebenarnya sangat sederhana. Laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari wanita karena laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anaknya. Berbeda dengan wanita, harta yang ia miliki benar-benar miliknya sendiri. Ia tidak punya tanggungjawab menafkahi orang lain.
Kemudian terkait kepemimpinan, tidak heran bahwa isu tersebut merupakan isu yang paling panas nan seksi sampai saat ini. Terlepas dari pro-kontra kepemimpinan wanita yang terjadi, cukuplah kondisi wanita yang memungkinkan hamil, melahirkan, menyusui dan mendidik anak sebagai alasan untuk lebih fokus akan tanggung jawab mereka. Karena untuk menjadi seorang pemimpin, dibutuhkan banyak pengorbanan waktu, tenaga dan tentunya pikiran. Hal ini dapat menyebabkan gugurnya kandungan, terbengkalainya nasib anak dan lain sebagainya.
Meskipun memang, dalam realitanya tidak semua wanita lebih lemah dan tidak dapat memimpin laki-laki. Zakarya al-anshory dalam maha karyanya lubbul ushul menyinggung ayat ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
Bahwa laki-laki lebih kuat dan lebih tangguh daripada wanita. Ia mengatakan, lafal arrijal dan annisa’ dalam ayat di atas sama-sama bersambung dengan alif-lam yang disebut mahiyah jinsiyah. Singkatnya, memang pada hakikatnya laki-laki lebih kuat daripada wanita, namun itu tidak menutup kemungkinan sebaliknya. Bahwa wanita memiliki kemampuan dan kapabilitas dalam memimpin kaum laki-laki itu mungkin saja. Hanya saja, itu terjadi sebagai sesuatu yang jarang,tidak secara global dan menyeluruh.[]