More

    Indonesia Barokah, Propaganda untuk Pemilih Galau di Masjid

    Tabloid Indonesia Barokah tak bisa dilepaskan dari gema Pilpres 2019 karena diduga berkolerasi dengan kepentingan kelompok politik tertentu.
    Asumsi demikian berangkat dari isi yang tabloid itu sendiri. Ketua umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan menyebut Indonesia Barokah tidak lagi murni untuk kepentingan dakwah.
    Dia mengamini bahwa tabloid tersebut beredar di masjid-masjid. Akan tetapi, isinya justru dominan memuat konten politik. Ia juga tak menampik konten tabloid memberikan konotasi negatif pada pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan positif terhadap pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin.
    “Berusaha menggabungkan dua tujuan (dakwah dan politik), namun sisi politiknya tetap lebih dominan,” kata Abdul saat dihubungi beberapa waktu lalu (24/1).
    “Mungkin bukan opini yang menghakimi, tapi framing positif untuk calon nomor 01, framing negatif untuk calon nomor 02,” lanjutnya. Pengamat politik Adi Prayitno menilai lazim jika Indonesia Barokah disebut sebagai alat propaganda dan kampanye. Wajar jika banyak yang berasumsi Indonesia Barokah berkorelasi dengan gegap gempita Pilpres 2019.
    Dia juga tidak kaget ketika Indonesia Barokah sengaja dikirim ke masjid di berbagai daerah. Menurutnya, dewasa ini memang lumrah menemui perbincangan politik di masjid-masjid.
    “Sekarang banyak yang bicara soal politik di masjid. Wajar kalau dikirimnya ke masjid-masjid. Minimal, Khotib saja sudah sering bicara politik. Dakwah tapi sambil jadi politisi,” kata Adi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/1). Menurut Adi, Indonesia Barokah mengincar kalangan yang masih belum memiliki pilihan tetap dalam Pilpres 2019 atau swing voters. Masih bisa berubah-ubah tergantung isu yang berkembang dan peredaran informasi.
    Kalangan itu, kata Adi, tidak sedikit yang sering beribadah di masjid. Maka wajar jika Indonesia Barokah ditujukan untuk menggaet swing voters yang berada di masjid. Terlebih, swing voters sendiri jumlahnya cukup banyak menurut sejumlah lembaga survei.
    “Indonesia Barokah ini tentu bermaksud untuk menyasar mereka. Swing voters di masjid yang iman politiknya enggak kuat-kuat amat,” kata Adi.
    “Mungkin sekarang sudah menentukan pilihan Jokowi atau Prabowo. Tapi kalau ada informasi baru yang kurang mengenakkan, bisa ganti pilihan. Masih bisa goyah imannya,” lanjutnya. Adi mengamini bahwa saat ini informasi bisa sangat mudah diterima. Khususnya dari media sosial yang begitu masif.
    Meski begitu, Adi menyebut masih banyak lapisan yang buta teknologi di berbagai daerah terutama pedesaan. Tidak sedikit pula masyarakat yang sudah aktif bermedsos, tetapi tidak percaya dengan informasi dari media sosial.
    “Apalagi mereka juga paham banyak akun anonim yang tidak jelas identitasnya di media sosial itu,” kata Adi.
    Di beberapa daerah dan lapisan masyarakat tertentu, Adi mengatakan masih banyak yang mempercayai media cetak sebagai sumber informasi paling valid. Mereka umumnya tidak menggunakan internet atau hanya sebatas untuk kebutuhan ekonomi dan hiburan.
    “Kalau media yang sifatnya cetak kan alamat redaksi ditulis, orang-orang redaksinya juga. Banyak yang masih lebih percaya itu daripada media sosial. Ya meskipun misalnya alamatnya itu ternyata fiktif,” kata Adi.
    “Di media sosial itu kan anonim dan banyak yang tidak jelas identitasnya,” lanjutnya. Adi tidak bisa memprediksi sejauh mana Indonesia Barokah mempengaruhi masyarakat. Menurutnya, keberadaan tabloid tersebut sudah kepalang mendapat cap buruk lantaran alamat redaksi yang fiktif. Tidak diketahui pula sidang redaksi yang bekerja membuat Indonesia Barokah.
    “Sudah keburu kena cap buruk. Efektif atau tidaknya jadi belum ketahuan. Istilahnya, kelompok politik tertentu belum bisa memanen hasilnya,” ucap Adi
    Adi lantas membandingkan tabloid Indonesia Barokah dengan Obor Rakyat. Menurut Adi, kemunculan keduanya sama sama tak lepas dari gaung perhelatan pilpres.
    Obor Rakyat muncul dan beredar medio 2014 lalu. Jokowi diserang dengan berbagai isu miring oleh tabloid tersebut kala itu. Namun, Jokowi tetap menang. Menurut Adi, Obor Rakyat gagal menghadang Jokowi menuju istana lantaran isu yang dibuat cenderung berisi fitnah. Masyarakat, lanjutnya, justru tahu dan tidak suka jika fitnah yang digunakan untuk menyerang salah satu calon. Walhasil, pemilih Jokowi tidak terpengaruh dan malah menyerang balik.
    Berbeda halnya dengan Indonesia Barokah. Adi mengatakan tabloid tersebut memuat konten yang benar dan sesuai fakta. Hanya saja, cenderung dominan menonjolkan sisi negatif Prabowo. Misalnya ketika Prabowo diduga menyebarkan hoaks pemukulan Ratna Sarumpaet yang diulas dalam Indonesia Barokah.
    Hanya saja , lanjut Adi, Indonesia Barokah sekadar mengambil hasil liputan dari media lain. Isi tentang Jokowi juga cenderung positif sehingga menjadi tidak imbang.
    “Kalau Obor Rakyat itu kampanye hitam, kalau Indonesia Barokah itu kampanye negatif,” kata Adi.[]

    Artikel Terkait

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini

    Stay Connected

    0FansSuka
    16,400PengikutMengikuti
    44,500PelangganBerlangganan
    - Advertisement -

    Artikel Terbaru