Sejak gempa dan tsunami melanda Palu dan daerah sekitarnya di Sulawesi Tengah pada 28 September lalu, lebih dari 2.000 jenazah telah ditemukan. Namun, jumlah pasti korban meninggal dunia amat mungkin tidak akan diketahui mengingat sejumlah daerah permukiman tersapu tsunami dan likuifaksi sehingga mengubur banyak orang. Inilah rangkaian kejadiannya.
28 September, malam
Sebagian penduduk sedang sibuk mempersiapkan festival di pantai untuk merayakan hari ulang tahun Kota Palu. Lapak-lapak pedagang sudah berjajar di sepanjang pantai, siap menjual beragam penganan, mulai dari camilan gorengan hingga mi. Di antara mereka adalah putri Irma yang menitipkan anak-anaknya ke sang nenek sehingga dia bisa menikmati perayaan malam itu.
Matahari mulai tenggelam sehingga teriknya perlahan pudar, berganti dengan sejuknya malam. Â Sekitar 16 kilometer sebelah selatan dari pesisir Kota Palu, para remaja dari sekolah menengah atas asal Kecamatan Sigi Biromaru sedang berada di Gereja Jono Oge untuk mengikuti kajian Alkitab.
Rencananya malam itu mereka akan bersantap bersama, mengadakan permaianan kelompok, dan menonton film sebelum pergi tidur. Di Kelurahan Petobo, Ersa Fiona yang berusia 21 bulan sedang bermain dengan kakaknya, Chandra Irawan, 11, sementara sang ibu sedang sibuk mengurus adik mereka yang paling kecil.
Gempa mengguncang
Pada pukul 18.02 WITA, bencana terjadi. Tanah yang mereka injak tiba-tiba berguncang kuat, jalan-jalan terbelah seperti ombak, dan bangunan-bangunan ambruk.
Gempa berkekuatan 7,4 pada skala Richter telah melanda Palu di Sulawesi Tengah. Gempa ini bukanlah yang pertama, tapi inilah yang terkuat.
Di Kelurahan Petobo, tempat Ersa Fiona sedang bermain, tanah seketika berubah seperti lumpur hisap. Kakaknya, Chandra Irawan, menarik tangannya dan mereka langsung berlari.
18.05 WITA
Lima menit kemudian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis peringatan tsunami. Lembaga itu mewanti-wanti gelombang laut akan mencapai 0,5 sampai tiga meter. Antara tiga hingga enam menit berikutnya Kota Palu diterjang ombak setinggi enam meter.
Masyarakat setempat hanya punya waktu 10 menit, dari saat gempa mengguncang sampai tsunami menerpa, untuk melarikan diri ke tempat tinggi.
Tatkala Nur menyaksikan gelombang tinggi menunju rumahnya di pesisir, dia menarik dua anaknya dan berlari.
“Kami lari menyelamatkan diri, gelombangnya mengejar kami. Kami dan gelombang seperti balapan. Saya tidak pakai sepatu dan kaki saya berdarah-darah.”
Gempa tersebut ternyata juga merusak jaringan listrik dan komunikasi. Itu artinya banyak orang, termasuk Nur, tidak menerima peringatan tsunami.
Indonesia sebenarnya punya sistem deteksini dini tsunami, namun “sangat terbatas”.
Seperti dilansir BBC News Indonesia, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, dari 170 sensor gempa yang dimiliki BMKG, anggaran pemeliharaan hanya ada untuk 70 sensor.
Bahkan, perangkat pemantau ombak terdekat dengan Palu, yang mendeteksi tsunami ini, berada sejauh 200 kilometer. Dan perangkat itu hanya bisa mendeteksi kenaikan ombak setinggi 6cm, yang saat itu dinilai “tidak signifikan”.
Apa yang menyebabkan gempa?
Gempa disebabkan oleh lempengan bumi yang saling bertumbukan satu sama lain. Ini terjadi secara konstan, namun kadang tumbukannya cukup besar dan relatif dekat dengan area padat penduduk sehingga menimbulkan konsekuensi parah.
Pada 28 September di Palu, getaran-getaran kecil terjadi sepanjang hari, namun gempa 7,4 pada skala Richter berlangsung saat Patahan Palu Koro yang melintasi Kota Palu, bergeser sekitar 10 kilometer di bawah permukaan tanah.
Sejak saat itu, ada sedikitnya 500 gempa susulan di Palu, yang sebagian besar di antaranya tidak dirasakan warga. Wilayah Indonesia sangat berpotensi terjadi gempa bumi karena posisinya yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik.[]
Gempa, Tsunami, 'Lumpur Hisap': Rangkaian Kejadian di Palu yang Harus Anda Tahu
- Advertisement -