Dunia sastra Indonesia berduka, salah satu penyair hebat Umbu Landu Paranggi Meninggal dunia, Selasa (6/4) di Bali. Kabar tersebut pertama datang dari akun resmi komunitas Kenduri Cinta.
Umbu Landu Paranggi disebut-sebut sebagai guru bagi budayawan Yogyakarta, Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa Cak Nun.
Mendengar kabar duka dari sang guru, Cak Nun pun langsung menulis pesan. Melalui situs pribadinya, Cak Nun menuturkan duka atas kepergian sang guru.
“Umbu menghadap Allah dalam keadaan berpuasa dari dunia, sebagaimana hampir seluruh usianya ia jalani dengan lelaku puasa atas berbagai tipuan kemewahan keduniaan,” tulis Cak Nun dalam artikel berjudul Mi’raj Sang Guru Tadabbur seperti dilansir cnnindonesia.com.
Ia pun menyebut bahwa Umbu Landu Paranggi merupakan sosok yang amat berpengaruh dalam hidupnya, termasuk kehidupan remajanya di Yogyakarta.
“Saya memerlukan catatan setandas-tandasnya tentang kepergian hamba Allah yang amat sangat berjasa memproses pematangan hidup saya di usia remaja pada era 1970-an.” tulis Cak Nun.
Semasa hidupnya, Umbu Landu yang juga kerap disapa sebagai Presiden Malioboro tersebut telah melahirkan sejumlah karya puisi, di antaranya Melodia, Solitude, Sabana, dan Di Sebuah Gereja Gunung.
Melodia
cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan.