More

    Kreasi Anyam Noken Para Janda di Lembah Balim

    Orang-orang di Lembah Balim, Papua, menyebut pohon yang kulitnya dipakai bahan membuat noken (tas khas Papua) dengan yakik. Mirip pohon melinjo, hanya daun dan buahnya tidak dimakan. Pohon yakik ini sudah langka jarang. Jika pun toh ada hanya di hutan yang jaraknya jauh dari pemukiman.

    “Belakangan perempuan sering membuat noken dengan bahan dari digi,” kata Salomina Pawika, 30, warga di Distrik Siepkosi, Kabupaten Jayawijaya. Digi adalah sejenis tanaman perdu. Di sekitar rumahnya, Salomina mulai menanam digi.

    Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua.

    Bersama sejumlah janda di Distrik Siepkosi, Salomina mempunyai kelompok perempuan pembuat noken. Kelompok ini dinamai dengan Homisoge, bahasa Suku Hubula di Lembah Balim, yang artinya perempuan janda. Hampir semua anggota kebanyakan janda, tapi ada yang berpasangan seperti Salomina.

    “Melihat kehidupan para janda itu, ada kesulitan-kesulitan yang ditanggungkan,” cerita Salomina. Saat masa sekolah menengah atas, Salomina pernah melihat para janda dikumpulkan di balai kampung. Satu per satu mereka ditanyai, apakah mereka mau menikah lagi atau tidak.

    Banyak janda tidak senang dengan pertemuan itu. Sebagian besar dari mereka lebih nyaman tetap menjanda.

    Semasa kuliah Salomina masih mendengar cerita para janda dapat kejar dari laki-laki. “Bahkan ada yang hampir diperkosa laki-laki,” kata Salomina. Status janda memposisikan perempuan rentan terhadap kesemena-menaan laki-laki.

    Di sejumlah kesempatan keluarga atau kerabat berkumpul, seperti kedukaan saat ada yang meninggal, ada yang mengusulkan mama-mama janda itu tidak perlu diberi kebun. Kemungkinan yang memberi usulan itu karena cemburu atau sakit hati terhadap janda.

    “Menjadi janda tanggungannya berat,” kata Salomina. Selain karena gangguan-gangguan, segala pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki, harus ditanggung sendirian. Seperti membuat pagar itu bagian tugas laki-laki. Juga membesarkan dan membiayai anak-anak.

    Selesai kuliah, saya mengumpulkan mama-mama janda ini untuk saling menguatkan, kata Salomina. Para mama janda jangan lagi berjalan sendiri. Di luar waktu kerja kebun dan urus rumah, Salomina mengusulkan mama-mama ini berkumpul, membentuk kelompok pengrajin noken. Sejak itu, Sanggar Homisoge berdiri.

    “Selain untuk melestarikan tradisi, noken ini bisa menjadi tambahan penghasilan para janda,” kata Salomina. Toh, belakangan noken mulai banyak peminat. Saat festival Lembah Balim yang terakhir, noken dan kerajinan anyam lain buatan para janda ini, habis dibeli para pengunjung.

    Kelompok Homisoge ini hanya membuat noken dari bahan-bahan alam, seperti serat tumbuhan dan pewarnanya. Para janda ini ingin agar generasi muda, tahu tentang pembuatan noken dan melestarikannya. “Dulu perempuan yang tidak tahu bikin noken akan dianggap tidak tahu adat,” kata Mama Benedikta, 57 tahun, ketua Sanggar Homisoge.

    Kelompok ini sesekali mengadakan pelatihan terkait ketrampilan merajut dan mengayam, teknik yang dipakai membuat noken. “Saya lihat ada mama yang bisa bikin baju dan rok dengan teknik noken, saya memintanya untuk melatih mama-mama yang lain,” kata Salomina.

    Baju dan rok yang dibuat teknik noken ini relatif baru. Belum banyak mama-mama yang mengerti tekniknya, seperti membuat bagian lengan.

    Salomina Pabika memakai pakaian lengkap yang terbuat dari noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua.  Dalam bahasa lokal Siepkosi, seni merajut noken ini disebut Suitarekh yang mengandalkan serat dari pohon Digi dan Genemo sebagai bahan baku benangnya.
    Salomina Pabika memakai pakaian lengkap yang terbuat dari noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Dalam bahasa lokal Siepkosi, seni merajut noken ini disebut Suitarekh yang mengandalkan serat dari pohon Digi dan Genemo sebagai bahan baku benangnya.

    Salomina yang bukan termasuk janda, lebih berperan sebagai pendamping. Karena peran dalam keluarga dan kesibukan pekerjaan, Salomina hanya sesekali membantu. Seperti menjadi penerjemah saat ada tamu datang. Sebab tak semua mama-mama janda ini bisa berbahasa Indonesia. Di saat lain Salomina bisa membantu pemasaran kerajinan produk sanggar.

    Kini anggota sanggar yang aktif sebanyak 15 mama janda, ditambah yang lain seperti Salomina, seluruhnya 19 perempuan. Kalau anggota yang terdaftar sebanyak 40 perempuan.

    Tak mudah untuk mengorganisasi sebuah kelompok dalam situasi seperti di Papua. Pengalaman represi selama bertahun-tahun membuat sulit untuk membangun saling percaya.

    Kerap ada kesalahpahaman dan kecurigaan sesama anggota, yang membuat satu atau dua anggota jadi enggan berkumpul.

    Kendala lain yang dihadapi mama-mama adalah bahan baku yang sudah sulit, sementara minat terhadap noken tinggi. “Saya sudah mengusulkan ke mama-mama untuk menanam bahan baku seperti digi,” kata Salomina.

    Hanya belakangan babi mulai makan saat digi tumbuh besar. Karenanya kebun harus dipagar. Itu berarti pekerjaan ini harus melibatkan laki-laki. Sanggar juga sedang berencana menyiapkan kawasan khusus untuk budidaya digi.

    “Kami sedang mengajukan bantuan untuk mesin pemintal,” kata Salomina. Pemintal ini nanti diperlukan untuk memintal serat-serat tumbuhan bahan pembuat noken agar menjadi benang. Kalau serat dipintal sendiri seperti di masa lalu, perlu waktu lama untuk pembuatan noken.

    Sanggar ini terbuka untuk kerja sama dengan beragam pihak. “Saya ada bayangan, bekerja sama dengan perancang busana, agar baju atau rok yang kita bikin bisa lebih menarik,” ujar Salomina.[]

    Artikel Terkait

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini

    Stay Connected

    0FansSuka
    16,400PengikutMengikuti
    42,300PelangganBerlangganan
    - Advertisement -

    Artikel Terbaru