“EMPU yang sebenarnya adalah perempuan. Dia mampu mencetak generasi di dalam rahim selama sembilan bulan dan mendidiknya sebagai penerus yang baik,” kata Arista Ika, 35, pembuat keris sekaligus pandai besi di Desa Aeng Tong Tong, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep seperti dilansir Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Perempuan lulusan sebuah perguruan tinggi di Madura itu dikenal sebagai salah satu pembuat keris di desa yang dikenal sebagai pusat perajin keris di kabupaten paling timur Pulau Madura itu.

Saat ditemui di rumahnya, ibu dua anak itu tengah mengemasi cucian di jemuran di depan rumahnya yang asri. Ia baru saja menyelesaikan pembuatan keris. “Istirahat sejenak untuk menyiapkan keperluan anak untuk sekolah diniah sore,” kata Arista.
Beberapa bilah keris mentah dengan pola masih kasar berjejer di rak kayu yang di dekatnya terdapat sebuah mesin penghalus. Ada lima bilah bakal keris yang akan dicetaknya dan diselesaikan dalam sepekan ini. Di kelima bilah keris itu sudah ada pahatan bakal pamor dengan motif berbeda. Ia lalu menyalakan mesin penghalus dan mengambil sebilah keris untuk dihaluskan. Beberapa kali muncul percikan api saat bilah keris itu menyentuh mesin. Namun, perempuan itu tidak terlihat kaget ataupun takut. Ia terus saja bekerja menghaluskan keris sambil sesekali memperhatikan pamor yang sudah muncul.
Dalam pembuatan keris, Ariska hanya bekerja pada proses penghalusan dan pembentukan pamor sesuai dengan pesanan, sedangkan penempaan besi dilakukan beberapa tetangganya. Sementara itu, suaminya, Musthofa, membuat warangka atau sarung keris.
Seorang pembuat keris, kata dia, haruslah memahami karakter keris dan pamor beberapa periode kerajaan. Sebabnya, setiap periode dan wilayah kerajaan memiliki karakter yang berbeda. “Misalnya keris Majapahit akan berbeda dengan keris Mataram dari jumlah lekuk hingga motif pamornya,” jelasnya.
Bekerja sebagai perajin keris sudah ia jalani sejak remaja. Keahlian itu ia dapatkan secara turun-temurun sejak kakek buyutnya yang merupakan salah satu pembuat keris Keraton Sumenep.
“Sejak kakek buyut hingga ayah saya merupakan perajin keris. Dari merekalah saya belajar hingga paham karakter benda pusaka itu,” ungkap Arista sambil sesekali membolak-balikkan bilah keris mentah yang tengah dihaluskan.
Ia tidak malu dengan pekerjaannya kendati pembuatan keris umumnya dilakukan pria. Menurutnya, empu adalah perempuan. “Ini bagian dari upaya melestarikan hasil budaya Nusantara,” ujar aktivis kewanitaan di desanya.[]