More

    Mengenal Sosok Ahmad Syafii Maarif : Berkemajuan Melawan Kemunduran

    JAKARTA – Mengenal sosok Ahmad Syafii Maarif, tokoh bangsa yang biasa dipanggil Buya Syafii merupakan sejarawan, pendidik, dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Beliau wafat di DI Yogyakarta (DIY) pada Jumat (26/5) pagi. Namun, sosoknya akan terus dikenang.

    Buya dikenal dengan gaya hidup sederhana. Bukan sesuatu yang ganjil bagi warga kawasan Nogotirto, Yogyakarta melihatnya mengayuh sepeda di jalan. Orang-orang berbagi kisah, menemui dia di angkringan, naik KRL dan selalu duduk di kelas ekonomi ketika menggunakan pesawat. Juga bagaimana dia begitu sabar mengantri saat memeriksakan diri di rumah sakit milik Muhammadiyah, yang turut dibesarkannya.

    Buya lahir di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ayahnya adalah Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan ibunya bernama Fathiyah. Ibunya meninggal ketika Buya baru berusia 1,5 tahun. Dia kemudian hidup bersama adik ayahnya, Bainah.

    Buya menikah pada usia 28 tahun dengan Nurkhalifah, gadis yang ketika itu baru berumur 19 tahun. Pernikahan di Masjid Rajo Ibadat itu berlangsung pada 5 Februari 1965. Buya menempuh pendidikan di IKIP yang kini bernama Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam bidang Sejarah. Dia kemudian tinggal di Yogyakarta karena menjadi dosen di kampus tersebut.

    Sejak muda, sebagai sejarawan Buya memang dikenal dengan ulasan politik yang jernih. Dia bahkan tidak segan berbeda pandangan politik, karena Muhammadiyah memang mempersilahkan setiap kadernya untuk berpolitik.

    Berbagai tokoh menyebut pemikiran politik Buya sebagai politik kejujuran, berbasis pada kemanusiaan. Karena konsep kejujuran dan kemanusiaan itu, Buya dinilai Mulkhan mampu melintasi politik aliran.

    Jika masyarakat Indonesia digolongkan oleh sosiolog asing sebagai santri, priyayi dan abangan, maka menurut Mulkhan, Buya mampu berada di tengah ketiga golongan itu.

    Perjalanan hidup Buya juga membentuk cara pandangnya, tidak hanya dalam beragama tetapi juga terhadap kehidupan sosial politik. Muhammadiyah sendiri menyebut Buya sebagai Bapak Bangsa, karena kecintaan, pemikiran, sikap hidup dan tindakannya sebagai sosok negarawan-bangsa.

    “Buya itu bertransformasi, dari konservatis spiritualisme ke substansialisme. Dari yang sangat simbolis, menjadi bertransformasi ke arah yang lebih cair, yang lebih terbuka, yang mengedepankan kemanusiaan,” ucap Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam gelaran 85 tahun Milad Buya Syafii Maarif bertema Mencari Negarawan.

    “Kiprah Buya, sebagai sosok yang mewakili civil society, dia tidak anti kekuasaan dan anti rezim, tetapi juga tidak larut dan tidak masuk pada rezim itu. Tentu setiap orang punya kekurangan, tetapi benang merahnya adalah, Buya ingin menghadirkan Islam, Muhammadiyah dan wawasan kebangsaan yang merawat kemajemukan,” kata Haedar.

    Tidak jarang, pemikiran Buya sebagai tokoh Muhammadiyah yang maju, dinilai sebagai pemikiran liberal dalam makna positif. Haedar mencatat, di era kepemimpinan Buya, lahir pemikiran tentang kembali ke khittah Muhammadiyah.

    Dalam Muktamar tahun 2002 di Denpasar, Bali, Buya juga mengusung dakwah kultural yang sempat menjadi polemik di tubuh persyarikatan.

    “Tetapi dalam konteks Muhammadiyah, Buya paham betul bagaimana membingkai pemikiran-pemikiran itu dalam satu sistem dan kolektivitas, sehingga menghasilkan pemikiran bersama yang memberi warna dalam perjalanan Muhammadiyah. Yakni Muhammadiyah yang berwajah kultural, tanpa wajah politik,” lanjut Haedar.

    Haedar mengatakan, dalam konteks bangsa, Buya hadir menjadi sosok pemberi warna. Buya juga menghadirkan pemahaman tentang pluralisme atau kemajemukan dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Di sisi lain, Buya juga tegas dalam prinsip-prinsip ber-Islam tetapi inklusif.

    Buya Syafii menarik dan unik karena pemikiran dan pandangannya yang aktual (update) dengan konteks keislaman dan keindonesiaan. Tak heran jika hingga kini, pemikiran dan pandangan Buya Syafii masih terus menjadi tema diskusi dalam banyak kesempatan. Mulai dari obrolan santai di warung kopi hingga obrolan serius di ruang akademisi.

    Tak dipungkiri, banyak karya-karya yang lahir dari pandangan dan pemikiran Buya Syafii. Beliau wafat di usia 87 tahun, namun pemikiran dan karyanya terus hidup dan dikenang. []

    Artikel Terkait

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini

    Stay Connected

    0FansSuka
    16,400PengikutMengikuti
    42,500PelangganBerlangganan
    - Advertisement -

    Artikel Terbaru