More

     Ini Akar Masalah Kerusuhan Inggris

    Kondisi di Inggris terus memanas. Hal ini disebabkan oleh gelombang unjuk rasa kelompok sayap kanan yang terus menyerang imigran pasca penusukan tiga anak kecil sepekan lalu.

    Bentrokan yang dibumbui kekerasan ini dipicu pembunuhan tiga gadis muda di kelas dansa bertema Taylor Swift di Southport pada Senin lalu. Axel Rudakubana (17) dari Lancashire dituduh melakukan serangan tersebut.

    Setelah itu, klaim palsu tersebar secara online bahwa tersangka adalah seorang pencari suaka beragama Islam yang tiba di Inggris dengan perahu. Padahal, Axel diketahui merupakan keturunan dari imigran Rwanda Kristen, namun sudah lahir di Inggris.

    Akibat klaim palsu ini pengunjuk rasa sayap kanan berkumpul di kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri. Mereka menargetkan pencari suaka hingga masjid sebagai bentuk penolakan atas imigran.
    Apa akar masalahnya?

    Direktur Pusat Studi Inggris di Universitas Studi Internasional Shanghai, Gao Jian, menganggap bahwa insiden ini telah mengungkap krisis sosial yang lebih dalam di Inggris. Pada awalnya, Jian mengatakan Eropa sangat menerima migran dengan baik dalam rangka pemenuhan pertumbuhan ekonomi.

    “Setelah Perang Dunia II, banyak negara maju Eropa menerapkan kebijakan imigrasi yang lebih longgar untuk mengatasi kekurangan pasar tenaga kerja guna memenuhi kebutuhan pembangunan ekonom,” ujarnya dalam sebuah kanal opini di Global Times, Kamis (8/8/2024).

    “Pada akhir abad lalu, seiring berlanjutnya pertumbuhan ekonomi di Eropa dan AS, kebijakan imigrasi yang lebih longgar ini terus berlanjut, dengan multikulturalisme diterima secara luas sebagai sikap yang benar secara politis,” ujarnya.

    Meski begitu, dalam dekade terakhir, dengan melambatnya pembangunan ekonomi global dan tantangan yang meliputi industri maju, kontradiksi internal dalam masyarakat Eropa dan AS telah meningkat. Para imigran dianggap sebagai ‘pemberat’ laju pertumbuhan ekonomi.

    “Kelompok imigran, yang dulunya merupakan kontributor penting bagi pembangunan sosial-ekonomi, saat ini mengalami reaksi negatif dan protes dari orang lain di masyarakat,” tuturnya.

    Karena Inggris mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat di antara negara-negara maju terbesar di Eropa, beberapa media Barat menjuluki Inggris sebagai ‘orang sakit’ Eropa. Jian pun menyoroti bahwa krisis sudah merambah pada pembangunan ekonomi dan masalah mata pencaharian sosial.

    “Isu imigrasi yang dibesar-besarkan telah lama menjadi alat utama bagi berbagai kekuatan politik untuk saling menyerang, menggarisbawahi krisis identitas sosial budaya yang terus-menerus terjadi di negara-negara maju Barat, seperti yang dicontohkan oleh Inggris,” tambahnya.

    “Sejumlah besar imigran di Inggris berasal dari bekas koloninya di Asia dan negara-negara Timur Tengah, dengan proporsi Muslim yang relatif tinggi. Dengan perbedaan bahasa, suku bangsa, dan latar belakang budaya-pendidikan, integrasi imigran ke dalam masyarakat Inggris tetap menjadi perhatian utama,” katanya.

    Dengan situasi ini, Jian menilai harus ada pencapaian perpaduan budaya sejati dengan komunitas Islam di Inggris dan Eropa. Hal-hal ini tidak dapat dicapai hanya melalui perumusan kebijakan khusus atau perubahan kelembagaan sederhana.

    “Yang dibutuhkan adalah keharmonisan etnis dan kesadaran akan inklusivitas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa membangun nilai-nilai budaya inti bersama dan menempa budaya nasional yang bersatu,” tutupnya.[]

    Sumber: cnbcindonesia.com

    Artikel Terkait

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini

    Stay Connected

    0FansSuka
    16,400PengikutMengikuti
    44,400PelangganBerlangganan
    - Advertisement -

    Artikel Terbaru